Kamis, 16 Februari 2017

Dedikasi Iin Nurhasanah Ridwan ke Dunia Pendidikan

Pernah Menang Lomba Film Dokumenter PKH Nasional

IIN Nurhasah hanya seorang kepala SMP swasta. Tapi kontribusinya di dunia pendidikan lewat sebuah film dokumenter, mampu menginspirasi Bantuan Siswa Miskin (BSM) hingga sampai SMA. (WAWAN DWI SISWANTO)


RUMAH seperti perkantoran full kaca yang bersebelahan dengan kantor KPU Bondowoso adalah kediaman Iin Nurhasanah Ridwan. Dirumah yang tepat berada dipinggir jalan raya itu, ada sebuah foto kebanggaan. Saat bercengkrama dengan Iin di ruang tamunya, ada satu frame foto yang jadi satu-satu pajangan. Foto itu adalah foto Iin saat menjadi masterpiece Tim Program Keluarga Harapan (PKH) Bondowoso bersama delapan belas productions. "Lho ini sebuah film dokumenter, jadi runner up di lomba film dokumenter PKH nasional tahun 2013," kanangnya.

Kenangn manis tersebut mengingatkan Iin saat menjadi PKH Kecamatan Maesan. Iin menjadi PKH mulai tahun tahun 2007 hingga 2005. Dalam hati, dia ingin tetap menjadi PKH. Berhubung Iin juga membangun sekolah SMP NU 01 di Koncer, mau tidak mau dia harus memilih. "Harus memilih tidak boleh double, karena keduanya mendapatkan dana dari pemerintah," jelasnya.
Jika Iin menginginkan nominal, jelas akan tetap di PKH. Karena waktu itu per-bulan gajinya Rp 2,5 juta. "Kalau pilih sekolah ya banyak uang yang dikeluarkan, karena sekolah ini baru berdiri," jelanya. Namun dia lebih memilih sekolah, karena banyak anak didiknya yang dari keluarga yang tidak mampu.

Berbicara siswa yang tidak mampu hingga saat ini Iin masih ingat dengan pameran film dokumenternya bernama Istiyani.

Judul Film Beradu Asa Untuk Sesama

Film dokumenter berjuduk beradu asa untuk sesama adalah sebuah cerita nyata dari siswa Mts Miftahul Ulum Dusun Gedangan, Desa Sumbersari, Maesan. "Waktu itu Mts tersebut satu kelas hanya enam orang saja," paparnya.

Dimana Istiyani adalah siswa berprestasi, tapi kuarang mampu dan penuh perjuangan menuju sekolah. "Rumahnya di Dusun Gedangan. Tapi setiap hari harus jalan kaki menyusir persawahan sendirian," katanya. Orang tuanya pun berprofesi sebagai pembuat sapu lidi.

Dalam film dokumenter berdurasi 45 menit itu pun masih tnda tanya dan tak ada penutupnya. Sebab, anak yang kurang mampu tak bisa meneruskan sekolah karena program BSM di PKH tersebut hanya sampai SMP. "Ending ceritanya ya tanda tanya," ucap alumnus Universitas Jember ini.
Pameran dalam film dokumenter tersebut adalah Istiyani sebagai siswa tak mampu, Jariya ibu dari Istiyani dan Iin sendiri sebagai orang PKH datang kerumah Istiyani yang berjuang dan bingung mencari bantuan untuk anak sekolah.

Harapan agar pemerintah pusat sadar bahwa anak miskin ini butuh uluran tangan melanjutkan kejenjang SMA ternyata terkabul. Tahun 2014 BSM pun tak hanya untuk anak SD dan SMP, tapi ke tingkat SMA. "Akhirnya Istiyani bisa sekolh di SMA NU Bondowoso dan sudah disiapkan beasiswa
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi," kata Iin yang juga sebagai agen koran Jawa Pos ini.

Dalam film tersebut,kata dia, sebetulnya bisa juara. Namun karena tak mematuhi aturan durasi waktu, akhirnya hanya pau di runner up. "Aturannya durasi waktu 30 menit, tapi pakai 45 menit. Karena ingin pesan tersebut tersampaikan," paparnya. Meraih penghargaan di film dokumenter tersebut juga pernah semua orang di PKH termasuk Kepala Dinas Sosial Bondowoso yang waktu itu Abdul Muthalib.

Pembuatan film tersebut pun memakan waktu 15 hari, dan seluruh tim juga anak-anak PKH. "Sutradaranya ya anak-anak PKH bernama Suci Yuniati," punkasnya. (wah)



Sumber: Jawa Pos Radar Ijen, Kamis 22 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar