Selasa, 21 Februari 2017

Junaidi, Sosok di Balik Drama Kolosal Babad Bondowoso

Maestro Drama Kolodal yang Mengabdikan Hidup untuk Seni

PERHELATAN drama kolosal Babad Bondowoso pada gelaran Bomdowoso Harritage akhir pekan lalu sangat memukau. Kostum sampai polesan adegan tersaji dengan ciamik. Adanya suguhan itu, tidak lepas dari sosok Junaidi atau orang yang akrab disapa Bang Jun.(SHOLOKHUL HUDA)

SANGGAR milik Gabungan Apresiasi Seni (GAS) di Kelurahan/Kecamatan Curahdami ini sangat sederhana. Tempatnya strategis, yakni di depan Mako Polsek Curahdami. Namun akses masuknya agak sulit. Tidak akses masuk resmi. Untuk menuju sanggar ini, harus melewati kuburan kuno. Disinal ada aksesoris yang digunakan untuk pementasan drama Babad Bondowoso tersimpan.

Sanggar ini sejatinya adalah belahan rumah milik Junaidi, Ketua GAS Bondowoso. Karena sudah mendedikasikan hidupnya untuk seni, maka dia rela membagi tempat tinggalnya untuk sanggar. Diruangan yang sempit itu, ada berbagai jenis alat musik. Mulai kendang, ketipung, kenong sampai drum yang merupakan alat musik modern.


Rupanya bukan karena keinginan anggota GAS, sanggar itu di letakkan bersebelahan dengan rumah Junaidi. Namun lebih karena keadaan. Karena belum ada sanggar yang mumpuni, maka seluruh peralatan ditaruh disanggar yang merupakan belahan rumah Junaidi. Kedepan, anggota GAS memiliki cita-cita untuk membangun sanggar baru. Yakni diarea lain. Hanya saja, Keiginan itu masih belum terwujud. "Kalau tanah saya ada, yang mau membangun itu belum ada," tuturnya.

Pembukaan itulah yang mengawali perbincangan Jawa Pos Radar Ijen dengan maestro teater asal Curahdemi tersebut. Sore hari itu, dia tengah mengembalikan beberapa aksesoris pertunjukan. Salah satunya perlengkapan yang dipakai untuk pementasan pada akhir pekan lalu. "Ini mas, masih belum kami atur seluruhnya," masih berantakan," tuturnya.

Sembari duduk di teras sanggar yang sederhana itu, Junaidi menceritakan asalmuasal kesukaannya terhadap seni. Pria kelahiran 30 Juni 1975 ini rupanya sudah menyukai seni teater sejak kecil. Keterlibatan Bang jun dalam seni teater sudah dimulai sejak dirinya duduk di bangku SMP, yakni pada tahun 1990-an.

Peringatan Tragedi Gerbong Maut Harus Diperhatikan

Seni teater terus dia geluti hingga akhirnya pada 2006 dia di percaya menjadi ketua GAS Bondowoso.
Saat itu, dia belajar kepada seniornya, seperti alm Joko Satrio, Yoyok dan Adi Sunaryadi. "Sebelum menjadi pelatih, saja menjadi pemeran, bahkan pada 1998 kami tampil di Gedung Grahadi Surabaya," tuturnya.

Melihat pengalamannya, banyak piagam penghargaan diperolehnya. Seperti piagam juara 1 lomba dongen g
kesejarahan pada 2002 dari Gubernur Jatim, piagam penghargaan dari Bupati Bondowoso opemenang lomba penulisan dan visualisasi drama fragman kesejaharan, piagam nominasi lomba penulisan naskah fragman kesejarahan Jawa Timur pada 2003, piagam penghargaan sebagai sutradara seni drama kolosan dari Disparporahub pada 2008 dan berbagi piagam lainnya.

Karena sangat suka dengan seni, orang yang kesehariannya menjadi pengisi acara di Radio Pasopati ini, bertekad mendedikasikan hidupnya untuk seni. Baginya, seni adalah hidupnya. Karena itu dia tidak segan-segan berkorban untuk seni.

Selama ini, sudah mendedikasikan hidupnya untuk menjadi pembina kesenian. Ada puluhan kelompok kesenian yang di binanya. Yakni seni teater sekolah dan seni teater kampung. Karena menjadi pembina di berbagai sekolah inilah, ketika membutuhkan personil yang cukup banyak, dia dengan mudah bisa mendapatkannya. "Seperti saat pertunjukan kemarin (Bondowoso Harritage), kami melibatkan 150 anak, " tuturnya. Anak-anak itu diambilnya dari barbagai sekolah binaan.

Berbagai sekolah binaan itu seperti teater Arwah MAN Bondowoso, Teater Rayap SMA Tenggarang, Teater Jernih SMAN 02 Bondowoso, Teater Arum SMAN 01 Bondowoso, Teater Arta' SMAN Tamanan, Teater Pinus SD 01 Curahpoh serta Teater Kancil SDN 03 Dabasah. Selain itu ada juga dari teater kapas SMP As-syuhada 45, Teater Landuk SMK PP Tegalampel, Teater Miror SMK 1 Bondowoso, Komunitas Parkur dan SMA Maarif Poncogati. "Untuk melakukan pembinaan, tidak hanya saya yang turun, namun juga adik-adik di GAS," terangnya.

Sementara seain melakukan pembinaan, pihaknya juga melakukan pertunjukan. Dia membingkai pertunjukan itu dengan teater kampung. Pertunjukan ini dipentaskan gratis. Biasanya dikantor desa atau tuan rumah cukup menyediakan makan untuk personil.

Diakuinya, mengkoordinir teater bukanlah sebuah hal yang mudah. Sebab saat ini banyak anak muda yang cenderung suka pada dunia modern. Karena itu, pihaknya selalu membuat inovasi, agar anak muda mau melestarikan budaya dan belajar kesenian. "Ngemong anak untuk komunitas seni ini sulit, kiatnya harus telaten dan harus memberi pemahaman, karena itu kami melakukan kegiatan pertunjukan dengan teater kampung," tuturnya. Kegiatan itulah yang menjadi salah satu penarik minat para anggota teater muda.
Junaidi menambahkan selain memerankan drama kolosal Babad Bondowoso, ada keinginan untuk membuat perayaan tragedi Gerbong Maut. Peringatan ini dilakukan setiap 23 Nopember. Keinginannya, peringatan Gerbong Maut ini diperingati dengan gebyar yang tidak kalah dengan peringatan Harjabo. Sebab didalamnya ada sejarah heroik yang bisa dipentaskan. "Saya yakin akan ada tawa dan tangis ketika cerita ini diulas dalam drama," tegasnya.

Dia menceritakan secara, singkat tragedi gerbong maut diawali dari adanya puluhan pejuang. Bondowoso tewas pada 23 November 1947. Kejaidan ini merupakan salah satu peristiwa paling sejarah di Bondowoso. Kejadian tersebut berawal saat beberapa bulan sebelumnya pasukan Belanda mendarat di Pasir Putih Situbondo kemudian teruys melakukan agresi militernya hingga ke Bondowoso.

Kedatangan pasukan Belanda tersebut disambut dengan perjuanagn heroik pejuang Bondowoso. Namun karena kalah persenjataan, pejuang Bondowoso berhasil dipukul mundur. Namun kegigihan karena tidak ingin di jajah kembali membuat para pejuang menggunakan taktik perang gerilya.

Taktik tersebut cukup jitu. Pejuang Bondowoso nyaris saja memenangkan pertempuran. Saat itulah, tentara Belanda menggunakan politik DEvide et IMpera. Adu domba dijalankan. Banyak tokoh penting yang di tangkap. Belanda juga menggunakan mata-mata untuk menangkapi para pejuang Bondowoso.

Dari penangkapan Besar-besaran tersebut, semua rumah tahanan di hampir setiap kecamatan penuh sesak. Sedikitnya 637 tentara pejuang rakyat meringkuk di sel Tahanan Belanda. Melihat bayaknya tahanan tersebut, diputuskan untuk memudahkan beberapa tahanan khususnya untuk kasus pelanggaran berat ke Surabaya.

Tepat Sabtu, 23 November 1947, sekitar 04.00, sebanyak 100 tahanan mulai dipindahkan. Mereka terdiri dari 20 rakyat desa, 30 dari laskar rakyat, 30 dari TRI serta 20 polisi. Mereka digiring menuju stasiun Bondowoso dan diberangkatkan menggunakan tiga gerbong. Gerbong 1 GR5769 berisi 32 orang, gerbong 2 GR4416 berisi 30 orang serta 38 orang lainnya masuk di gerbong 3 GR0152.

Tepat pukul 07.30, kereta berangkat menuju Surabaya. Perjalan berlangsung sekitar 16 jam. Sekitar pukul 20.00, tiga gerbong tersebut tiba di stasiun Wonokromo. Sayangnya, akibat kondisi gerbong yang tak memadai sedikitnya 45 pejuang itu tewas, 8 orang di antaranya berada di gerbong 2 GR 4416 dan seluruh penumpang di gerbong 3 GR0152 yang berisi 38 pejuang gugur. (wah)


Sumber: Jawa Pos Radar Ijen, 02 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar