Rabu, 22 Februari 2017

Keluarga Besar Ki Ronggo yang Eksis Lestarikan Kotekan Lesung

Selalu Tampil di Harjoba, Wujud Pelestarian Budaya

MENUMBUK padi dengan lesung secara bersamaan, adalah salah satu budaya para leluhur. Saat peringatan harjobo, budaya ini kembali dihidupkan sebagai bentuk pelestarian budaya lokal.(WAWAN DWI SISWANTO)


NAPAK tilas Ki Ronggo sebagai acara pembuka Hari Jadi Bondowoso (Harjabo) ke 197 pekan lalu begitu memukau. Puluhan kereta kuda di hiasi bunga-bunga dengan penumpang forpimda dan SKPN begitu pas dengan busana adat. Tak sedikit masyarakat setempat mengabdikan moment tersebut dari kamera ponselnya. Ada pula siswa SD yang berdiri sembari melambaikan tangan dan mengibarkan bendera saat rombongan kereta kuda itu melintas.

Sesampainya di gerbang Makam Ki Ronggo yang berada di Sekarputih, Tegal Ampel, rombongan itu di sambut oleh keluarga besar Ki ROnggo. Untuk kaum laki-laki, mereka mengenakan pakaian adat serta hiasan blangkon di atas kepalanya. Suasana ini tersaji seperti kembali pada jaman dahulu.


Menariknya, di tempat itu, ada suara tak-tik-tok penuh irama yang begitu nyaring. Suara itu terdengar seperti orang menumbuk padi. Dan nyatanya, memang benar. Pantauan Jawa Pos Radar Ijen, karena suara itu, jajaran forpimdatertarik menuju sumber suara tersebut. Suara itu tak lain adalah suara tumbukan lesung dari ibu-ibu yang mengenakan kebaya warna hijau. "Wah ini bagaimana memainkannya," ucap Bupati Bondowoso Amin Said Husni saat berinteraksi dengan mereka.

"Ini namanya ronjhangan," ucap Kustiningsih salah seorang anggota. Saat itu dia menumbuk bersama eman anggota lainnya. Mereka semua berasal dari keluarga Ki Ronggo. Keenam ibu-ibu yang memainkan Rongjhangan adalah Sutinah, Yani, Jumaati, Kutdaiyah, Bu Tutu dan Kustiningsih sendiri. Lebih jauh, Kustiningsih menjelaskan, ronjhangan adalah bahasa Madura. Bahasa yang lebih
Familier adalah kotekan dengan lesung.

Perempuan yang sudah berusia kepala enam tersebut menjelaskan, ronjhangan sudah berlangsung lama dari leluhurnya dan tak hanya di Bondowoso saja. Bisa jadi seluruh leluhur orang Indonesia juga. Seba, awal kali kotekan di lesung tersebut ada dari aktivitas perempuan yang menumpuk padi untuk menjadi beras. "Lesung ini alat untuk menumbuk padi, jadi laki-laki yang memanen padi.

Wujud Menularkan Budaya Gotong Royong

Sementara perempuan itu menumbuk padi untuk dijadikan beras," katanya.
Kegiatan menumbuk padi pun tak hanya dilakukan satu orang, tapi bersama-sama. Bisa bersama tetangga atau keluarga yang rumahnya berdekatan. "Sebelum ada teknologi selep, semua pakai lesung seperti ini," ucapnya.

Sementara dari mana asalmu asal suara lesung yang berirama tersebut, Sutinah menjelaskan, bahwa suara tersebut untuk mengisi kebosanan menumbuk padi pada jaman dahulu. Sehingga para penumbuk padi mengatur iramanya. Hal ini diperuntukan agar pekerjaan tidak capek.

Dia juga menjelaskan lesung made in Indonesia sudah mengerti teknologi memutihkan beras. "Kalau yang lobang kecil ini untuk memutihkan beras, sedangkan yang panjang besar untuk memisahkan kulit padi dari beras," paparnya.

Sementara adanya penampilan ronjhangan dalam Harjabo tidak lain karena ingin melestarikan budaya. Sehingga tidak hanya memperagakan suara khas dari lesung saja, namun lebih untuk edukasi para generasi sekarang agar mengerti bagaimana orang dahulu bergotong royong. Tujuannya agar generasi saat ini mengerti dan paham dengan kebersamaan serta rasa persatuan yang kuat pada jaman dahulu. "Kalau lesung lawan teknologi sekarang ya tak bisa." Hanya saja pihaknya ingin menginspirasi generasi muda agar bisa kerja gotong royong. Sebab gotong royong itu nikmat, asyik dan menjadi salah satu pilar berdirinya Bangsa Indonesia. (wah)


Sumber: Jawa Pos Radar Ijen, Kamis 04 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar