Selasa, 07 Februari 2017

Sosok Aktifis Perempuan Sri Wahyuningsih

Raih Anugerah Saparinah Sadli 2016 Karena Kegigihannya

 

TEPATNYA 24 Agustus lalu, Sri Wahyuningsih mendapatkan Anugerah Saparinah SAdli. Guru Pendidikan Kewarganegaraan di SMPN 1 Tamanan ini, menerima penghargaan karena konsistensinya dalam menyampaikan informasi kesehatan reproduksi dan pesan-pesan pencegahan perkawinan dini di Bondowoso
.
NAMA Sri Wahyuningsih mendadak terkenal dikanca aktifis perempuan di Indonesia. Sebab pekan lalu, dia khusus di undang ke ruang Rimbawan 1 Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Dalam kesempatan itu dia menerima Anugerah Saparinah Sadli.



Menariknya, penghargaan itu hanya diberikan kepada satu orang saja di Indonesia. Dia tercatat sebagai penerima Anugerah Saparinah Sadli 2016.

Anugerah Saparinah Sadli sendiri adalah Anugerah yang terinspirasi dari sosok cendikiawan Saparinah Sadli. Yakni akademisi yang kemudian menjadi pegiat keadilan yang gigih, tekun dan konsisten dalam berbagai aktivitas dilakukan. Seperti dibidang penelitian, pendidikan serta advokasi dalam upaya mencapai keseteraan dan keadilan bagi perempuan.Anugerah Saparinah Sadli telah diselenggarakan selama 14 tahun terakhir.

Pertama pada 2004. Dan sebelum Sri Wahyuningsih dari Bondowoso, ada enam perempuan luar biasa di Indonesia yang menjadi teladan dan inspirasi bagi perempuan yang akhirnya memperoleh anugerah.

Ibu Yuni Sendiri merupakan guru SMPN 1 Tamanan. Dia terpilih menjadi penerima Anugerah Saparinah Sadli 2016 karena aktifitasnya menjadi salah satu perintis Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGPKespro) di Bondowoso. Paguyuban ini didirikan berdasarkan komitmen dari sekelompok guru di Bondowoso yang ingin mensosialisasikan pentingnya upaya untuk mencegah pernikahan dini (perkawinan usia anak) dan dampak buruknya terhadap anank. "Saya tidak terpikirkan dapat penghargaan seperti ini," akunya.

Dia memulai aktivitas di Paguyuban tersebut sejak 2012 lalu. Saat memulai aktifitasnya itu, sama sekali tidak terbersit dalam benak pikirnya bahwa dia akan mendapatkan penghargaan. "Apalagi tingkat nasional. "Dia melakukan sosialisasi pencegahan pernikahan dini karena melihat tingginya angka pernikahan dini di Bondowoso.

Awal kali dirinya tergerak untuk melakukan sosialisasi ini, karena melihat beberapa anak harus Drop Out (DO) dari sekolah. Mereka dikawinkan oleh orang tuanya. Padahal usia mereka masih sangat jauh dari usia perkawinan. "Anak didik saya kan usia SMP, ini menjadikan saya sangat miris," tutur yang memiliki gelar Sarjana Hukum dan Sarjana Pendidikan ini. Akhirnya Yuni terpanggil untuk menjadi aktifis penekanan pernikahan dini.

Kebetulan saat itu dirinya juga mendapat pelatihan dari badan Pemberdayan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Bondowoso tanpa Kespro. Dari situlah dia lantas bergerak untuk melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan usia dini. "Yang saya sasar bukan hanya anak, namun orang tua," ujar kelahiran perempuan kelahiran Bondowoso 24 April 1978 ini.

Dari masyarakat, satu hal yang menjadi catatan baginya. Yakni tentang alasan orang tua menikahkan anak saat anaknya masih muda atau usia sekolah. Faktor terbesarnya adalah ekonomi. Dimana orang trua merasa ringan tanggungan ekonominya saat anaknya menikah. Sebab menurut mereka, ekonomi anaknya sudah ditanggung suaminya. "Namun saya selalu tekankan kepada orang tua, bahwa menikahkan anak pada usia dini, bukan meringankan ekonomi justru menambah beban, apalagi menghilangkan hak-hak anak seperti hak pendidikan," ujarnya.

Bahkan secara mental sang ank belum siap, kata Yuni, maka akan berdampak kepada keluarganya nanti. Karena kurang siap mental, membuat keluarga yang dibangun rentan terkena permasalahan dan rapuh. "Kalau ini terjadi, bisa kita bayangkan anak yang dilahirkan nanti," tegas perempuan yang melepas lajang bersama Junaidi Suyanto pada 2002 lalu.

Makanya pihaknya mengadakan sosialisasi tidak hanya di sekolah, melainkan berbagai pengajian. Kadang dia juga di undang oleh PKK Kecamatan. Kebetulan saat itu, dia menjadi Bunda Kespro Kabupaten dan mengikuti sosialisasi di KKP Kecamatan di Bondowoso.

Dalam kiprahnya, pemahaman kepada Yuni mengenai kesehatn reproduksi sangat baik. Hingga terkadang orang mengira dia seorang dokter atau bidan. Karena sangat fasih kemampuannya untuk menyampaikan materi kesehatan reproduksi, dia sempat mengisi sesi konsultasi Kespro di radio locak selama 1 tahun. "Atas nama paguyuban guru," ungkap ibu tiga anak ini.

Perlu diketahui, sebelum Ynu, ada enam perempuan lain yang dalam kurun waktu 2004 sampai 2014 yang mendapat anugerah Saparinah Sadli. Keenam perempuan itu pertama Mari Ulfah Anshor.Perempuan yang juga Ketua Umum PP Fatayat NU dan Sekjen Alimat ini memperoleh anugerah Sapariah Sadli pada 2004.

Hal itu karena perannya dam mendidekasikan diri untuk mengatasi masalah perempuan, terutama reformasi hukum keluarga indonesia. Penelitiannya berjudul Fikih Aborsi Alternatif untuk penguatan hak-hak reproduksi perempuan serta pegabdiannya melalui berbagai posisi dan perannya dalam organisasi, mengantarnya menjadi penerima anugerah Saparinah Sadli pertama.

Kedua adalah Aleta Baun utau 'Ma Leta'. Perempuan ini telah memimpin warga kampungnya di Molo, Timor untuk melawan pertambangan yang merusak alam sekitar mereka. Dia sempat menghadapi teror fisik, mental bahkan ancaman pembunuhan. Ma Letta memimpin ratusan warga untuk duduk menenun di lokasi pertambangan untuk menghambat aktifitas penambangan. Keteguhan, kepemimpinannya serta usahanya memperdayakan masyarakat adat, membuatnya menjadi salah satu pemenang anugerah Saparinah Sadli tahun 2007.
Ketiga Mutmainah Korona. Dia merupakan salah satu direktur Komunitas Peduli Perempuan Anak (KPPA) Sulawesi Tengah. Dia berhasil mendorong salah satu Peraturan Daerah yang mengatur partisipasi politiuk perempuan tingkat desa di kabupaten Donggala. Atas perjuangannya dia mendapatkan Anugerah Saparinah Sadli pada 2007.
Keempat adalah Nani Zulmiarni. Perempuan ini melalui Program pemberdayaan Perempuan pencari Nafkah (Pekka) telah membantu ribuan keluarga miskin. Para Perempuan yang mengikutri program Pekka sebagian besar buta huruf dan tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Nam,un tiap orang rata-rata menafkahi 6 orang. Untuk perjuanggan memberdayakan perempuan dari segi ekonomi dan sosial, Nani menjadi penerima Anugerah Saparinah SAdli pada 2010.

Kelima adaah Baihajar Tualeka, penerima Anugerah Saparinah Sadli 2012. Perempuan asal Ambon ini aktif di perdayaan Perempuan Anak (LAPPAN) yang didirikan paca konflik sektarian disana. Awalnya Bai ikut serta dalam konflik karena percaya bahwa hal itu termasukpenegakkan agama. Nam,un menyaksikan pembunuhan brutal dlam konflik, Bai berbalik menjadi seorang aktifis perdamaian. Dia menjalankan berbagai upaya untuk menjalin perdamaian serta mendukung berbagai isu gender, relusi konflik, penanganan kekerasan serta mendukung berbagai isu lainnya.

Keenam adalah Asnaini, penerima Anugerah Saparinah Sadli 2014. Dia dalah kepala Desa perempuan pertama di desa Pegasing, Aceh Tengah. Dia berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya dari mulai mendatangkan listrik ke desanya, menghidupkan kembali posyandu dengan perbaikan fasilitas serta bidan tetap, mengusahakan kas desa juga penyuluhan petanim kopi untuk meningkatankan pendapatan desa. (wah)



Sumber: Jawa Pos Radar Ijen, Jumat 02 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar